Cari Blog Ini

Selasa, 09 Februari 2010

PEMBERDAYAAN EKONOMI UMAT
MELALUI OPTIMALISASI PENGELOLAAN ZAKAT



Indonesia adalah bangsa yang besar dengan jumlah penduduknya lebih dari 200 juta jiwa. Mayoritas penduduknya adalah muslim, bahkan merupakan negara dengan jumlah muslim terbesar di dunia. Tetapi nasib muslim Indonesia tidak terlalu menggembirakan, baik dari segi politik, keamanan, sosial, ekonomi dan lainnya.
Secara normatif, Islam sangat mendorong pemeluknya untuk maju. Ketika wahyu pertama turun yaitu “IQRA”, di situ secara tersurat maupun tersirat umat Islam dituntut supaya mampu menguasai segala bidang kehidupan. Ada slogan “Al-Islam ya’lu wa laa yu’laa ‘Alaih” (Islam adalah maha luhung dan tidak ada yang melampauinya). Slogan ini sering didengungkan dan diterima kebenarannya oleh umat Islam. Tetapi kenyataan real berbicara lain, di mana umat Islam berada di bawah dominasi Barat (non muslim).
Sejak Indonesia terkena krisis ekonomi, sampai saat ini tanda-tanda pulih dari krisis belum nampak. Malah dari tahun ke tahun kondisi perekonomian Indonesia makin terpuruk. Hal ini ditandai dengan semakin banyaknya pengangguran (sebagai dampak dari PHK, pemulangann TKI), harga-harga kebutuhan bahan pokok terus melonjak, dan utang luar negeri yang mencapai 1.400 triliun rupiah.
Menyadari kenyataan di atas, sudah saatnya umat Islam Indonesia khususnya, bangkit dari keterpurukan dan keterbelakangan. Salah satu masalah mendesak yang perlu segera mendapat perhatian adalah upaya peningkatan taraf kehidupan ekonomi umat (Islam).
Dalam Islam sudah ada ajaran zakat, yang kalau dilaksanakan dengan baik, pasti dapat mengatasi permasalahan di atas. Didin Hafiduddin pernah menyatakan bahwa bila seluruh umat Islam yang mampu mau melaksanakan kewajibannya untuk membayar zakat, akan dapat terhimpun dana sebesar 19,3 triliun rupiah pertahun. Jumlah yang sangat besar dan potensial, dalam upaya menghapuskan kemiskinan di Indonesia.

Zakat Dalam Tinjauan Islam

Zakat secara bahasa berarti kesuburan (an-nama’), kesucian (thaharah) dan keberkatan (barokah). Sedangkan secara istilah, zakat adalah sebutan untuk pengambilan tertentu dari harta yang tertentu, menurut sifat-sifat yang tertentu, untuk diberikan kepada golongan yang tertentu. (T.M. Hasbi Ash Shiddiqy, Pedoman Zakat, [Semarang : PT Pustaka Rizki Putra, 1999], hal. 3-5).
Ada beberapa istilah yang digunakan dengan makna zakat, seperti zakat (Q.S. 2 : 43), shodaqoh (Q.S. 9 : 60) haq (Q.S. 6 : 141), infaq ( Q.S. 9 : 34). Kedudukan zakat dalam Islam merupakan salah satu rukun Islam. Dalam Qur’an penyebutan perintah zakat sering kali diiringi dengan perintah shalat. Sebanyak 28 kali Allah menyebutkan perintah shalat yang diiringi dengan perintah zakat.
Tidak dinafikan bahwa yang paling dicintai oleh manusia di dunia ini, adalah harta dan kekayaan. Mengeluarkan harta untuk kepentingan ataupun hak orang lain bisa lebih berat dari pada shalat sekalipun. Islam dalam syari’atnya menerapkan sistem zakat bukan sebagai simbol kedermawanan semata. Tetapi zakat merupakan alat ujii kepatuhan seorang muslim dalam melaksanakan kewajiban atau amanahnya kepada masyarakat. Mengingkari zakat sudah dipandang sebagai pembangkang terang-terangan terhadap agama, seperti kasus penduduk Batha’ah yaitu ketika Khlafifah Abu Bakar memimpin pemerintahan Islam sepeninggal Rasulullah S.a.w. tahun 632-634 M, pernah mendekritkan operasi militer terhadap negeri Batha’ah. Khalifah waktu itu mengeluarkan peringatatan, “Demi Allah, akan saya perangi siapa saja yang memisahkan antara kewajiban shalat dan kewajiban zakat”. (Buletin Al-Mukarromah Hidayatullah Garut, Zakat Kewajiban yang Sering Terlupakan, [Garut, Hidayatullah : t.t.], hal. 1-2)
Kefarduan zakat sudah disepakati oleh seluruh umat Islam berdasarkan Qur’an, hadits dan ijma’. Orang yang enggan mengeluarkan zakat diancam oleh Allah sebagaimana tercantum dalam surat At-Taubah 34-35.

Persyaratan Harta Menjadi Objek Zakat

Tidak diragukan lagi bahwa objek zakat yang disepakati oleh para ulama meliputi zakat perdagangan (tijaroh), emas dan perak (naqdain), pertanian, peternakan, barang tambang (ma’din) dan harta karun (rikaz). Landasan pewajiban objek zakat ini berdasarkan Qur’an dan hadits.
Meskipun demikian, masih ada perbedaan pendapat di kalangan ulama baik mutaqaddimin maupun muta’akhirin tentang beberapa persolan seputar zakat. Misalnya tentang zakat perdagangan. Ada ulama yang menetapkan keharusan nishab dan haul, sementara yang lain berpendapat tidak ada. Begitu pula perbedaan antara apakah zakat perdagangan itu diambil dari modal atau dari aset keseluruhan beserta keuntungan ?
Perbedaan lainnya terhadap jenis pertanian yang diolah dengan bantuan mesin dan irigasi tetapi juga dibantu dengan air hujan, apakah zakatnya 5 % atau 10 % ? Tentang emas dan perak yang dijadikan perhiasan (bukan simpanan) apakah ada zakatnya ataukah tidak ?, dalam hal inipun ada perbedaan pendapat.
Terlepas dari semua perbedaan pendapat di atas, kitapun dihadapkan kepada suatu kenyataan di alam modern ini. Pada masa sekarang, roda perekonomian sedemikian maju dan pesat. Banyak jenis transaksi ekonomi modern yang belum terjadi pada masa Nabi S.a.w. Misalnya perusahaan, suarat-surat berharga (saham dan obligasi), perdagangan mata uang, profesi dan yang lainnya.
Menyikap hal ini di kalangan ulama ada dua pendapat :
Pertama, sebagian ulama (seperti Ibnu Hazm dan Madzhab Zahiriyyah, termasuk di dalamnya PERSIS) menyatakan bahwa zakat merupakan persoalan ibadah mahdhah yang sudah diatur dalam Qur’an dan hadits. Karenanya, objek zakat terbatas kepada apa-apa yang sudah dijelaskan dan dipraktekkan di masa Nabi S.a.w. Memasukkan objek zakat di luar ketentuan adalah perbuatan bid’ah.
Kedua, sebagian ulama yang lain menyatakan bahwa zakat merupakan ibadah maaliyah ijtima’iyyah yang sifatnya dinamis. Penentuan objek zakat pada masa Nabi S.a.w. disesuaikan dengan keadaan dan perkembangan perekonomian saat itu. Pengeloalan harta dan jenis usaha pada masa Nabi terbatas pada beberapa sektor usaha, sehingga ketentuan zakatpun terbatas pada usaha-usaha yang ada. Semenatara pada saat ini jenis dan ragam sektor ekonomi begitu banyak.
Pendapat kedua mengemukakan bahwa Qur’an dan hadits dalam menentukan harta sebagai objek zakat menggunakan dua pendekatan, yatiu tafshili (rinci) dan ijmali (global). Secara tafshili, dikemukankan dalam Qur’an dan hadist beberapa jenis harta yang menjadi objek zakat, yaitu zakat pertanian seperti dikemukakan dalam Q.S. 6 : 141. Zakat emas dan perak dikemukakan dalam Q.S. 9 : 34-35 dan beberapa hadits. Zakat peternakan dikemukakan dalam beberapa hadits Nabi. Zakat industri barang tambang dan hasil temuan (rikaz) dikemukakan dalam hadits Nabi.
Sedangkan pendekatan ijmali (global) yaitu Qur’an menyebutkannya dengan ungkapan umum seperti dikemukakan dalam Q.S. 2 : 267. Sektor ekonomi modern yang berkembang dari waktu ke waktu jelas termasuk objek zakat yang sangat potensial. Misalnya penghasilan yang didapat melalui keahlian, yang sering disebut dengan zakat profesi, seperti profesi dokter, dosen, pegawai, konsultan, pengacara, perancang dan lain sebagainya. Demikian pula usaha sarang burung walet, usaha tanaman anggrek, usaha investasi proferti dan sektor-sektor modern lainnya yang kini semakin bervariasi. (Didin Hafidhuddin dalam Suara Hidayatullah 07/XIV/Sya’ban-Ramadhan 1422, hal. 88).
Yusuf Qardhawi berpandangan bahwa semua kekayaan yang berkembang (an-nama’) pantas menjadi sumber dan objek zakat berdasarkan pernyataan-pernyataan umum Quir’an dan hadits. Lebih lanjut beliau mengemukakan 6 alasan :
1. Teks-teks global Qur’an dan hadits menegaskan bahwa setiap kekayaan mengandung di dalamnya hak orang lain, “wa fi Amwaalihim haqqun lis-saaili wal mahruum.”
2. Semua orang kaya perlu membersihkan dan mensucikan diri. Membersihkan diri itu adalah dengan mengorbankan harta dan mensucikan diri adalah dari kotoran-kotoran kekikiran dan sifat mementingkan diri sendiri.
3. Semua kekayaanpun sesungguhnya perlu dibersihkan dari kotoran-kotoran yang munkin saja tersangkut pada waktu mencarinya. Membersihkan kekayaan itu adalah dengan cara mengeluarkan zakatnya.
4. Zakat diwajibkan untuk menutupi kebutuhan fakir miskin, dan mustahik lainnya. Menutupi keperluan mereka itu haruslah merupakan kewajiban setiap orang yang mempunyai kekayaan.
5. Qiyas merupakan salah satu sumber hukum. Oleh karena itu kita memandang perlu dianalogikannya semua kekayaan yang berkembang dengan kekayaan yang ditarik zakatnya oleh Rasulullah S.a.w.
6. Kita tidak mengingkari kesucian kekayaan orang muslim dan hak pemilik pribadinya, tetapi kita berpendapat bahwa hak Allah atau dengan kata lain hak masyarakat dalam kekayaan itu dan demikian juga hak orang-orang yang memerlukannya seperti fakir miskin, juga tegas terdapat di dalamnya. (Yusuf Qardhawi, Fiqhuz zakat, terjemahan Salman Harun dkk., Hukum Zakat, [Jakarta : Litera Antar Nusa, 2001), hal. 146-148.
Didin Hafidhuddin berpendapat bahwa zakat itu dikeluarkan dari harta konkret yang bernilai dalam pandangan manusia dan dapat digunakan menurut galibnya. Dengan demikian, segala harta yang secara konkret belum terdapat contohnya di zaman Nabi S.a.w., tetapi dengan perkembangan perekonomian modern sangat berharga dan bernilai, maka termasuk kategori harta yang apabila memenuhi syarat-syarat kewajiban zakat, harus dikeluarkan zakatnya. (Didin Hafidhuddin, Zakat Dalam Perekonomian Modern, [Jakarta : Gema Insani, 2002), hal. 17-18.
Sudah saatnya kita membahas dan mengkaji ulang persoalan zakat, sehingga diharapkan ada kesamaan dan kebersamaan langkah untuk memberdayakan umat dengan zakat. Kita tidak puas hanya dengan mengandalkan pemahaman ulama-ulama terdahulu, tetapi kitapun harus melihat perkembangan perekonomian dan perkembangan ijtihad di kalangan ulama.



Optimalisasi Pengelolaan Harta

Harus diakui bahwa pengelolaan zakat belum optimal. Kesadaran para aghniya untuk mengeluarkan zakat belum merata, di tambah dengan sosialisasi persoalan zakat masih kurang. Padahal sejarah telah membuktikan, baik pada masa Nabi S.a.w. ataupun Khulafa Rasyidin bahwa zakat mampu meningkatkan taraf kehidupan umat. Dalam sejarah, pada masa Umar bin Abdul Aziz, dengan pengelolaan zakat secara profesional, ternyata umat yang tadinya ketinggalan dari segi ekonomi, akhirnya mampu merubah diri dari mustahik menjadi muzakki. Ketika ada dana zakat untuk fakir miskin, begitu akan disalurkan, sulit ditemukan fakir miskin.
Dari segi pembangunan kesejahteraan umat, zakat merupakan salah satu instrumen penting dalam pemerataan pendapatan. Dengan zakat yang dikelola dengan baik, dimungkinkan membangun pertumbuhan ekonomi sekaligus pemerataan pendapatan. Zakat merupakan distribusi harta yang egaliter, dan bahwa sebagai akibat dari zakat, harta akan selalu beredar. Zakat adalah sumber kas negara, sekaligus merupakan soko guru dari kehidupan ekonomi yang dicanangkan Qur’an. Zakat akan mencegah terjadinya akumulasi pada satu tangan, dan pada saat yang sama akan mendorong umat untuk melakukan investasi dan mempromosikan distribusi. Zakat juga merupakan institusi komprehensif untuk distribusi zakat, karena hal itu menyangkut harta setiap muslim secara praktis, saat hartanya telah sampai atau melewati nishab. (Didin Hafidhuddin, Suara Hidayatullah, loc.cit.)
Untuk mencapai pengelolaan zakat yang profesional, sehingga zakat menjadi soko guru kehidupan perekonomian dan berdampak pada pemberdayaan ekonomi umat, ada beberapa agenda yang patut mendapat perhatian bersama, yaitu :
1. Pengelolaan zakat tidak cukup berpindahnya harta zakat dari muzakki kepada mustahik. Lebih penting dari itu pengelolaan zakat ini melalui badan yang namanya ‘amil zakat, meskipun secara hukum fiqih penyaluran zakat dari muzakki kepada mustahik secara langsung adalah sah.
2. Peningkatan profesionalisme kerja para ‘amil zakat. Selama ini (bahkan sejak Orde Baru) di Indonesia sudah ada Badan ‘Amil Zakat (BAZ), tetapi kepercayaan umat untuk menitipkan dana zakatnya kepada badan ini sangat kurang. Karena itu, untuk menumbuhkan kepercayaan dari umat, para pengelola zakat harus mampu bekerja secara profesional. Yaitu dengan administrasi dan distribusi yang baik, pengumpulan dan pengelolaan data muzakki dan mustahik, di samping tentunya para ‘amil tadi harus amanah.
3. Pengelolaan zakat tidak hanya sekedar bersifat konsumtif. Sebab jika ini yang terjadi, maka upaya meningkatkan dan memberdayakan ekonomi umat tidak akan berhasil. Sudah saatnya dipikirkan agar para mustahik seperti fakir miskin tidak selalu pada posisi al-yadus sufla, tetapi suatu saat berubah menjadi al-yadul ‘ulya.
4. Aspek penyuluhan dari para ulama dan ahli zakat memegang peranan penting. Masih dirasakan jarang ada pembahasan zakat pada moment khutbah dan pengajian.
Di lapangan kita sudah bisa mencermati ada beberapa Lembaga ‘Amil Zakat (LAZ) yang mampu mengelola zakat secara profesional. Sebut saja misalnya Dompet Dhu’afa (DD), Pos Keadilan Peduli Umat (PKPU), dan Dompet Sosial Ummul Quro’ (DSUQ). Tentunya kita harus bercermin kepada keberhasilan mereka dalam mengelola zakat. Alhamdulillah PERSIS-pun ikut berperan aktif dengan telah terbentukny LAZ PERSIS PZU (Pusat Zakat Umat).
Pemerintah Indonesia sudah mengesahkan Undang Undang Zakat no. 38 tahun 1999. Ini adalah kesempatan buat kita untuk lebih mengoptimalkan pengelolaan zakat secara profesional. Harapan agar masyarakat Indonesia dapat meningkat taraf kehidupan ekonominya, Insya Allah akan tercapai. Penerapan pajak ternyata belum mampu mengeluarkan Indonesia dari kertertinggalan. Sudah saatnya dipikirkan dan dirumuskan bahwa zakat mampu menjadi soko guru kehidupan perekonomian umat Islam Indonesia yanbg mampu memberdayakan umat. Wallahu A’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar